MuslimahZone.com – Menikah adalah sunnah Nabi yang dapat menyempurnakan
separuh agama. Menikah, juga mendatangkan ketenangan (sakinah) dan kebahagiaan
(sa’adah). Sakinah bukan hanya karena cinta yang bersifat fisik (mawaddah),
tetapi juga dikuatkan dengan cinta yang bersifat non fisik (rahmah). Kesemuanya
merupakan nikmat tersendiri dari Allah, yang hanya bisa dirasakan oleh insan
yang telah menikah.
Di malam Jum’at misalnya. Ada banyak
kesempatan mendulang pahala bagi suami dan istri, yang tidak didapatkan oleh
orang yang belum menikah.
Bagi semua muslim, membaca surat Al
Kahfi di hari Jum’at adalah sunnah. “Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi pada
hari Jum’at,” sabda Rasulullah yang diriwayatkan Al Hakim dan Al Baihaqi serta
dishahihkan Al Albani, “maka akan dipancarkan cahaya untuknya di antara dua
Jum’at.”
Tetapi… bagi pasangan suami dan
istri, membaca surat Al Kahfi bersama di malam Jum’at, saling menyimak, adalah
kenikmatan tersendiri. Pahala sunnah membaca surat Al Kahfi didapat, ketenangan
didapat, dan penguatan cinta juga didapat. Sebab –sekali lagi- cinta dalam
Islam bukan hanya karena faktor fisik semata (mawaddah), cinta juga memiliki
sisi non fisik (rahmah) yang tidak bergantung pada ketertarikan wajah dan
tubuh. Beribadah bersama, menunaikan amal shalih bersama, menghidupkan rumah dengan
sunnah, adalah penumbuh dan penguat cinta.
Jika membaca surat Al Kahfi dan
bersalawat adalah amal sunnah yang bisa ditunaikan siapa saja, ada satu hal
yang tidak bisa dikerjakan kecuali oleh mereka yang sudah menikah. Sebuah amal
berpahala besar sekaligus membawa nikmat seketika. Para sahabat sempat terkejut
ketika Rasulullah mensabdakan bahwa berhubungan badan dengan istri adalah
sedekah. “Wahai Rasulullah, apakah kami mendatangi istri kami dengan syahwat
itu mendapatkan pahala?” Rasulullah –sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim-
pun menjawab: “Bukankah jika kalian bersetubuh pada yang haram, kalian
mendapatkan dosa. Oleh karenanya jika kalian bersetubuh pada yang halal, tentu
kalian akan mendapatkan pahala.”
Bahkan, sebagaian ulama berpendapat,
“bercinta” di malam Jum’at mendapatkan keutamaan tambahan, selain pahala
seperti yang disebutkan Rasulullah tersebut.
“Barangsiapa (yang menggauli
istrinya) sehingga mewajibkan mandi pada hari Jum’at kemudian diapun mandi,
lalu bangun pagi dan berangkat (ke masjid) pagi-pagi, dia berjalan dan tidak
berkendara, kemudian duduk dekat imam dan mendengarkan khutbah dengan seksama
tanpa sendau gurau, niscaya ia mendapat pahala amal dari setiap langkahnya
selama setahun, balasan puasa dan shalat malam harinya.” (HR. Tirmidzi,
An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad)
Hadits tersebut menggambarkan betapa
besarnya balasan pahala bagi orang yang melakukannya. Yakni “bercinta”, mandi,
bangun pagi, berangkat awal ke masjid untuk menunaikan shalat Jum’at, duduk
dekat imam dan mendengarkan khutbah dengan seksama. Pahala dalam hadits ini
diberikan kepada orang yang melakukan paket enam amal itu, tidak
terpisah-pisah. Namun demikian, tergambarlah keutamaan “bercinta” di malam
Jum’at.
Memang ada yang berpendapat bahwa
sunnah dalam hadits tersebut adalah “bercinta” pada hari Jum’at (pagi),
mengingat mandi Jum’at itu dimulai setelah terbit fajar di hari Jum’at. Namun
yang lebih populer adalah “bercinta” di malam Jum’at, sedangkan mandinya bisa
saja saat terbit fajar sebelum menunaikan Shalat Shubuh berjama’ah.
Abu Umar Basyir di dalam bukunya
Sutra Ungu menambahkan, “Di negara yang menerapkan libur pada hari Jum’at,
tentu tidak masalah jika seseorang ingin berhubungan seks pada hari itu. Lalu
bagaimana di negara yang menetapkan hari Jum’at sama seperti hari-hari kerja
lainnya? Bagaimanapun, hukum sunah tetap saja sunah. Jadi itu hanya soal
kesempatan melakukannya saja. Jika mampu dilakukan, Insya Allah membawa berkah.
Di situlah, manajemen waktu berhubungan seks menjadi perlu diatur. Karena itu
bisa saja dilakukan menjelang subuh, atau sesudah shalat Subuh. Tiap pasutri
tentu lebih tahu mana saat yang paling tepat.” Wallaahu a’lam bish shawab. [Abu
Nida]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar