Hukum pergaulan laki laki rengan
perempuan
Kesulitan kita – sebagaimana yang sering saya
kemukakan – ialah bahwa dalam memandang berbagai persoalan agama, umumnya
masyarakat berada dalam kondisi ifrath (berlebihan) dan tafrith (mengabaikan).
Jarang sekali kita temukan sikap tawassuth (pertengahan) yang merupakan salah
satu keistimewaan dan kecemerlangan manhaj Islam dan umat Islam.
Sikap demikian juga sama ketika
mereka memandang masalah pergaulan wanita muslimah di tengah-tengah masyarakat.
Dalam hal ini, ada dua golongan masyarakat yang saling bertentangan dan
menzhalimi kaum wanita.
Pertama, golongan yang
kebarat-baratan yang menghendaki wanita muslimah mengikuti tradisi Barat yang
bebas tetapi merusak nilai-nilai agama dan menjauh dari fitrah yang lurus serta
jalan yang lempang. Mereka jauh dari Allah yang telah mengutus para rasul dan
menurunkan kitab-kitab-Nya untuk menjelaskan dan menyeru manusia kepada-Nya.
Mereka menghendaki wanita muslimah
mengikuti tata kehidupan wanita Barat “sejengkal demi sejengkal, sehasta demi
sehasta” sebagaimana yang digambarkan oleh hadits Nabi, sehingga andaikata
wanita-wanita Barat itu masuk ke lubang biawak niscaya wanita muslimah pun
mengikuti di belakangnya. Sekalipun lubang biawak tersebut melingkar-lingkar,
sempit, dan pengap, wanita muslimah itu akan tetap merayapinya. Dari sinilah
lahir “solidaritas” baru yang lebih dipopulerkan dengan istilah “solidaritas
lubang biawak.”
Mereka melupakan apa yang dikeluhkan
wanita Barat sekarang serta akibat buruk yang ditimbulkan oleh pergaulan bebas
itu, baik terhadap wanita maupun laki-laki, keluarga, dan masyarakat. Mereka
sumbat telinga mereka dari kritikan-kritikan orang yang menentangnya yang
datang silih berganti dari seluruh penjuru dunia, termasuk dari Barat sendiri.
Mereka tutup telinga mereka dari fatwa para ulama, pengarang, kaum intelektual,
dan para muslihin yang mengkhawatirkan kerusakan yang ditimbulkan peradaban
Barat, terutama jika semua ikatan dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan
benar-benar terlepas.
Mereka lupa bahwa tiap-tiap umat
memiliki kepribadian sendiri yang dibentuk oleh aqidah dan pandangannya
terhadap alam semesta, kehidupan, Tuhan, nilai-nilai agama, warisan budaya, dan
tradisi. Tidak boleh suatu masyarakat melampaui tatanan suatu masyarakat lain.
Kedua, golongan yang mengharuskan
kaum wanita mengikuti tradisi dan kebudayaan lain, yaitu tradisi Timur, bukan
tradisi Barat. Walaupun dalam banyak hal mereka telah dicelup oleh pengetahuan
agama, tradisi mereka tampak lebih kokoh daripada agamanya. Termasuk dalam hal
wanita, mereka memandang rendah dan sering berburuk sangka kepada wanita.
Bagaimanapun, pandangan-pandangan di
atas bertentangan dengan pemikiran-pemikiran lain yang mengacu pada Al-Qur’anul
Karim dan petunjuk Nabi SAW serta sikap dan pandangan para sahabat yang
merupakan generasi muslim terbaik.
Ingin saya katakan di sini bahwa
istilah ikhtilath (percampuran) dalam lapangan pergaulan antara laki-laki
dengan perempuan merupakan istilah asing yang dimasukkan dalam “Kamus Islam.”
Istilah ini tidak dikenal dalam peradaban kita selama berabad-abad yang silam,
dan baru dikenal pada zaman sekarang ini saja. Tampaknya ini merupakan
terjemahan dari kata asing yang punya konotasi tidak menyenangkan terhadap
perasaan umat Islam. Barangkali lebih baik bila digunakan istilah liqa’
(perjumpaan), muqabalah (pertemuan), atau musyarakrah (persekutuan) laki-laki
dengan perempuan.
Tetapi bagaimanapun juga, Islam
tidak menetapkan hukum secara umum mengenai masalah ini. Islam justru
memperhatikannya dengan melihat tujuan atau kemaslahatan yang hendak
diwujudkannya, atau bahaya yang dikhawatirkannya, gambarannya, dan
syarat-syarat yang harus dipenuhinya, atau lainnya.
Sebaik-baik petunjuk dalam masalah
ini ialah petunjuk Nabi Muhammad SAW, petunjuk khalifah-khalifahnya yang lurus,
dan sahabat-sahabatnya yang terpimpin.
Orang yang mau memperhatikan
petunjuk ini, niscaya ia akan tahu bahwa kaum wanita tidak pernah dipenjara
atau diisolasi seterti yang terjadi pada zaman kemunduran umat Islam.
Pada zaman Rasulullah SAW, kaum
wanita biasa menghadiri shalat berjamaah dan shalat Jum’at. Beliau SAW
menganjurkan wanita untuk mengambil tempat khusus di shaf (baris) belakang
sesudah shaf laki-laki. Bahkan, shaf yang paling utama bagi wanita adalah shaf
yang paling belakang. Mengapa? Karena, dengan paling belakang, mereka lebih
terpelihara dari kemungkinan melihat aurat laki-laki. Perlu diketahui bahwa
pada zaman itu kebanyakan kaum laki-laki belum mengenal celana.
Pada zaman Rasulullah SAW (jarak
tempat shalat) antara laki-laki dengan perempuan tidak dibatasi dengan tabir
sama sekali, baik yang berupa dinding, kayu, kain, maupun lainnya. Pada mulanya
kaum laki-laki dan wanita masuk ke masjid lewat pintu mana saja yang mereka
sukai, tetapi karena suatu saat mereka berdesakan, baik ketika masuk maupun
keluar, maka Nabi SAW bersabda:
“Alangkah baiknya kalau kamu jadikan
pintu ini untuk wanita”
Dari sinilah mula-mula
diberlakukannya pintu khusus untuk wanita, dan sampai sekarang pintu itu
terkenal dengan istilah “pintu wanita.”
Kaum wanita pada zaman Nabi SAW juga
biasa menghadiri shalat Jum’at, sehingga salah seorang di antara mereka ada
yang hafal surat “Qaf.” Hal ini karena seringnya mereka mendengar dari lisan
Rasulullah SAW ketika berkhutbah Jum’at.
Kaum wanita juga biasa menghadiri
shalat Idain (Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha). Mereka biasa menghadiri hari
raya Islam yang besar ini bersama orang dewasa dan anak-anak, laki-laki dan
perempuan, di tanah lapang dengan bertahlil dan bertakbir.
Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu
Athiyah, katanya:
“Kami diperintahkan keluar (untuk
menunaikan shalat dan mendengarkan khutbah) pada dua hari raya, demikian pula
wanita-wanita pingitan dan para gadis.”
Dan menurut satu riwayat Ummu
Athiyah berkata:
“Rasulullah SAW menyuruh kami
mengajak keluar kaum wanita pada hari raya Fitri dan Adha, yaitu wanita-wanita
muda, wanita-wanita yang sedang haid, dan gadis-gadis pingitan. Adapun
wanita-wanita yang sedang haid, mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan
mendengarkan nasihat dan dakwah bagi umat Islam (khutbah, dan sebagainya). Aku
(Ummu Athiyah) bertanya, ‘Ya Rasulullah salah seorang di antara kami tidak
mempunyai jilbab.’ Beliau menjawab, ‘Hendaklah temannya meminjamkan jilbab yang
dimilikinya.’”1
Ini adalah sunnah yang telah
dimatikan umat Islam di semua negara Islam, kecuali yang belakangan digerakkan
oleh pemuda-pemuda Shahwah Islamiyyah (Kebangkitan Islam). Mereka menghidupkan
sebagian sunnah-sunnah Nabi SAW yang telah dimatikan orang, seperti sunnah
i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan sunnah kehadiran kaum
wanita pada shalat Id.
Kaum wanita juga menghadiri
pengajian-pengajian untuk mendapatkan ilmu bersama kaum laki-laki di sisi Nabi
SAW Mereka biasa menanyakan beberapa persoalan agama yang umumnya malu
ditanyakan oleh kaum wanita. Aisyah RA pernah memuji wanita-wanita Anshar yang
tidak dihalangi oleh rasa malu untuk memahami agamanya, seperti menanyakan
masalah jinabat, mimpi mengeluarkan sperma, mandi junub, haid, istihadhah, dan
sebagainya.
Tidak hanya sampai di situ hasrat
mereka untuk menyaingi kaum laki-laki dalam menimba-ilmu dari Rasulullah SAW.
Mereka juga meminta kepada Rasulullah SAW agar menyediakan hari tertentu untuk
mereka, tanpa disertai kaum laki-laki. Hal ini mereka nyatakan terus terang
kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, kami dikalahkan kaum laki-laki untuk
bertemu denganmu, karena itu sediakanlah untuk kami hari tertentu untuk bertemu
denganmu.” Lalu Rasulullah SAW menyediakan untuk mereka suatu hari tertentu
guna bertemu dengan mereka, mengajar mereka, dan menyampaikan perintah-perintah
kepada mereka.2
Lebih dari itu kaum wanita juga
turut serta dalam perjuangan bersenjata untuk membantu tentara dan para
mujahid, sesuai dengan kemampuan mereka dan apa yang baik mereka kerjakan,
seperti merawat yang sakit dan terluka, di samping memberikan
pelayanan-pelayanan lain seperti memasak dan menyediakan air minum.
Diriwayatkan dari Ummu Athiyah, ia berkata:
“Saya turut berperang bersama
Rasulullah SAW sebanyak tujuh kali, saya tinggal di tenda-tenda mereka,
membuatkan mereka makanan, mengobati yang terluka, dan merawat yang sakit.”3
Imam Muslim juga meriwayatkan dari
Anas:
“Bahwa Aisyah dan Ummu Sulaim pada
waktu perang Uhud sangat cekatan membawa qirbah (tempat air) di punggungnya
kemudian menuangkannya ke mulut orang-orang, lalu mengisinya lagi.”4
Aisyah RA yang waktu itu sedang
berusia belasan tahun menepis anggapan orang-orang yang mengatakan bahwa
keikutsertaan kaum wanita dalam perang itu terbatas bagi mereka yang telah lanjut
usia. Anggapan ini tidak dapat diterima, dan apa yang dapat diperbuat
wanita-wanita yang telah berusia lanjut dalam situasi dan kondisi yang menuntut
kemampuan fisik dan psikis sekaligus?
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa enam
orang wanita mukmin turut serta dengan pasukan yang mengepung Khaibar. Mereka
memungut anak-anak panah, mengadoni tepung, mengobati yang sakit, mengepang
rambut, turut berperang di jalan Allah, dan Nabi saw memberi mereka bagian dari
rampasan perang.
Bahkan terdapat riwayat yang shahih
yang menceritakan bahwa sebagian istri para sahabat ada yang turut serta dalam
peperangan Islam dengan memanggul senjata, ketika ada kesempatan bagi mereka.
Sudah dikenal bagaimana yang dilakukan Ummu Ammarah Nusaibah binti Ka’ab dalam
perang Uhud, sehingga Nabi SAW bersabda mengenai dia, “Sungguh kedudukannya
lebih baik daripada si Fulan dan si Fulan.”
Demikian pula Ummu Sulaim menghunus
badik pada waktu perang Hunain untuk menusuk perut musuh yang mendekat
kepadanya.
Imam Muslim meriwayatkan dari Anas, anaknya
(anak Ummu Sulaim) bahwa Ummu Sulaim menghunus badik pada waktu perang Hunain,
maka Anas menyertainya. Kemudian suami Ummu Sulaim Abu Thalhah, melihatnya
lantas berkata, “Wahai Rasulullah, ini Ummu Sulaim membawa badik.” Lalu
Rasulullah SAW bertanya kepada Ummu Sulaim, “Untuk apa badik ini? Ia menjawab,
“Saya mengambilnya, apabila ada salah seorang musyrik mendekati saya akan saya
tusuk perutnya dengan badik ini.” Kemudian Rasulullah SAW tertawa.5
Imam Bukhari telah membuat bab
tersendiri di dalam Shahih-nya mengenai peperangan yang dilakukan kaum wanita.
Ambisi kaum wanita muslimah pada
zaman Nabi SAW untuk turut perang tidak hanya peperangan dengan negara-negara
tetangga atau yang berdekatan dengan negeri Arab seperti Khaibar dan Hunain
saja tetapi mereka juga ikut melintasi lautan dan ikut menaklukkan
daerah-daerah yang jauh guna menyampaikan risalah Islam.
Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari
dan Muslim dari Anas bahwa pada suatu hari Rasulullah SAW tidur siang di sisi
Ummu Haram binti Mulhan – bibi Anas – kemudian beliau bangun seraya tertawa.
Lalu Ummu Haram bertanya, “Mengapa engkau tertawa, wahai Rasulullah?” Beliau
bersabda, “Ada beberapa orang dari umatku yang diperlihatkan kepadaku berperang
fi sabilillah. Mereka menyeberangi lautan seperti raja-raja naik kendaraan.”
Ummu Haram berkata, “Wahai Rasulullah, doakanlah kepada Allah agar Dia
menjadikan saya termasuk di antara mereka.” Lalu Rasulullah SAW mendoakannya.6
Dikisahkan bahwa Ummu Haram ikut
menyeberangi lautan pada zaman Utsman bersama suaminya Ubadah bin Shamit ke
Qibris. Kemudian ia jatuh dari kendaraannya (setelah menyeberang) di sana, lalu
meninggal dan dikubur di negeri tersebut, sebagaimana yang dikemukakan oleh
para ahli sejarah.7
Dalam kehidupan bermasyarakat kaum
wanita juga turut serta berdakwah: menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari
perbuatan munkar, sebagaimana firman Allah:
“Dan orang-orang yang beriman,
laki-laki dan perempuan sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian
yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang
munkar…” (at-Taubah: 71)
Di antara peristiwa yang terkenal
ialah kisah salah seorang wanita muslimah pada zaman khalifah Umar bin Khattab
yang mendebat beliau di sebuah masjid. Wanita tersebut menyanggah pendapat Umar
mengenai masalah mahar (mas kawin), kemudian Umar secara terang-terangan
membenarkan pendapatnya, seraya berkata, “Benar wanita itu, dan Umar keliru.”
Kisah ini disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam menafsirkan surat an-Nisa’, dan
beliau berkata, “Isnadnya bagus.” Pada masa pemerintahannya, Umar juga telah
mengangkat asy-Syifa binti Abdullah al-Adawiyah sebagai pengawas pasar.
Orang yang mau merenungkan Al-Qur’an
dan hadits tentang wanita dalam berbagai masa dan pada zaman kehidupan para
rasul atau nabi, niscaya ia tidak merasa perlu mengadakan tabir pembatas yang
dipasang oleh sebagian orang antara laki-laki dengan perempuan.
Kita dapati Musa – ketika masih muda
dan gagah perkasa – bercakap-cakap dengan dua orang gadis putri seorang syekh
yang telah tua (Nabi Syusaib; ed.). Musa bertanya kepada mereka dan mereka pun
menjawabnya dengan tanpa merasa berdosa atau bersalah, dan dia membantu
keduanya dengan sikap sopan dan menjaga diri. Setelah Musa membantunya, salah
seorang di antara gadis tersebut datang kepada Musa sebagai utusan ayahnya
untuk memanggil Musa agar menemui ayahnya. Kemudian salah seorang dari kedua
gadis itu mengajukan usul kepada ayahnya agar Musa dijadikan pembantunya,
karena dia seorang yang kuat dan dapat dipercaya.
Marilah kita baca kisah ini dalam Al-Qur’an:
“Dan tatkala ia (Musa) sampai di
sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang
meminumi (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang
wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata, ‘Apakah maksudmu
(dengan berbuat begitu?)’ Kedua wanita itu menjawab, ‘Kami tidak dapat meminumi
(ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya),
sedangkan bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.’ Maka Musa
memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke
tempat yang teduh lalu berdoa, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan
sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.’ Kemudian datanglah kepada Musa
salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata,
‘Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap
(kebaikan)-mu memberi minum (ternak) kami.’ Maka tatkala Musa mendatangi
bapaknya (Syu’aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya),
Syu’aib berkata, ‘Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang
yang zhalim itu.’ Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Ya bapakku,
ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang
yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang
kuat lagi dapat dipercaya.’” (Al-Qashash: 23-26)
Mengenai Maryam, kita jumpai Zakaria
masuk ke mihrabnya dan menanyakan kepadanya tentang rezeki yang ada di sisinya:
“… Setiap Zakaria masuk untuk
menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata, ‘Hai
Maryam, dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?’ Maryam menjawab, ‘Makanan itu
dari sisi Allah.’ Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang
dikehendaki-Nya tanpa hisab.”(Ali Imran: 37)
Lihat pula tentang Ratu Saba, yang
mengajak kaumnya bermusyawarah mengenai masalah Nabi Sulaiman:
“Berkata dia (Bilqis), ‘Hai para
pembesar, berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah
memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis-(ku).’ Mereka
menjawab, ‘Kita adalah orang-orang yang memilih kekuatan dan (juga) memilih
keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu;
maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.’ Dia berkata, ‘Sesungguhnya
raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya dan
menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan
mereka perbuat.” (An-Naml 32-34)
Berikut ini percakapan antara Bilqis
dan Sulaiman:
“Dan ketika Bilqis datang,
ditanyakanlah kepadanya, ‘Serupa inikah singgasanamu?’ Dia menjawab, ‘Seakan
akan singgasanamu ini singgasanaku, kami telah diberi pengetahuan sebelumnya
dan kami adalah orang-orang yang berserah diri.’ Dan apa yang disembahnya
selama ini selain Allah, mencegahnya (untuk melahirkan keislamannya), karena
sesungguhnya dia dahulunya termasuk orang-orang yang kafir. Dikatakan
kepadanya, ‘Masuk1ah ke dalam istana.’ Maka tatka1a ia melihat lantai istana
itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya.
Berkatalah Sulaiman, ‘Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca.
‘Berkata1ah Bilqis, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zhalim terhadap
diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta
alam.’”(An-Naml: 42-44)
Kita tidak boleh mengatakan “bahwa
syariat (dalam kisah di atas) adalah syariat yang hanya berlaku pada zaman
sebelum kita (Islam) sehingga kita tidak perlu mengikutinya.” Bagaimanapun,
kisah-kisah yang disebutkan dalam Al-Qur’an tersebut dapat dijadikan petunjuk,
peringatan, dan pelajaran bagi orang-orang berpikiran sehat. Karena itu,
perkataan yang benar mengenai masalah ini ialah “bahwa syariat orang sebelum
kita yang tercantum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah menjadi syariat bagi
kita, selama syariat kita tidak menghapusnya.”
Allah telah berfirman kepada
Rasul-Nya:
“Mereka itulah orang-orang yang
telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka …” (al-An’am:
90)
Sesungguhnya menahan wanita dalam
rumah dan membiarkannya terkurung di dalamnya dan tidak memperbolehkannya
keluar dari rumah oleh Al-Qur’an – pada salah satu tahap di antara
tahapan-tahapan pembentukan hukum sebelum turunnya nash yang menetapkan bentuk
hukuman pezina sebagaimana yang terkenal itu – ditentukan bagi wanita muslimah
yang melakukan perzinaan. Hukuman ini dianggap sebagai hukuman yang sangat
berat. Mengenai masalah ini Allah berfirman:
“Dan (terhadap) para wanita yang
mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu
(yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka
kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya,
atau sampai memberi jalan lain kepadanya.” (An-Nisa’: 15)
Setelah itu Allah memberikan jalan
bagi mereka ketika Dia mensyariatkan hukum had, yaitu hukuman tertentu dalam
syara’ sebagai hak Allah Ta’ala. Hukuman tersebut berupa hukuman dera (seratus
kali) bagi ghairu muhshan (laki-laki atau wanita belum kawin) menurut nash
Al-Qur’an, dan hukum rajam bagi yang mahshan (laki-laki atau wanita yang sudah
kawin) sebagaimana disebutkan dalam As-Sunnah.
Jadi, bagaimana mungkin logika
Al-Qur’an dan Islam akan menganggap sebagai tindakan lurus dan tepat jika
wanita muslimah yang taat dan sopan itu harus dikurung dalam rumah selamanya?
Jika kita melakukan hal itu, kita seakan-akan menjatuhkan hukuman kepadanya
selama-lamanya, padahal dia tidak berbuat dosa.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, kita dapat
menyimpulkan bahwa pertemuan antara laki-laki dengan perempuan tidak haram,
melainkan jaiz (boleh). Bahkan, hal itu kadang-kadang dituntut apabila
bertujuan untuk kebaikan, seperti dalam urusan ilmu yang bermanfaat, amal
saleh, kebajikan, perjuangan, atau lain-lain yang memerlukan banyak tenaga,
baik dari laki-laki maupun perempuan.
Namun, kebolehan itu tidak berarti
bahwa batas-batas di antara keduanya menjadi lebur dan ikatan-ikatan syar’iyah
yang baku dilupakan. Kita tidak perlu menganggap diri kita sebagai malaikat
yang suci yang dikhawatirkan melakukan pelanggaran, dan kita pun tidak perlu
memindahkan budaya Barat kepada kita. Yang harus kita lakukan ialah bekerja
sama dalam kebaikan serta tolong-menolong dalam kebajikan dan takwa, dalam
batas-batas hukum yang telah ditetapkan oleh Islam. Batas-batas hukum tersebut
antara lain:
1. Menahan pandangan dari kedua
belah pihak. Artinya, tidak boleh melihat aurat, tidak boleh memandang dengan
syahwat, tidak berlama-lama memandang tanpa ada keperluan. Allah berfirman:
“Katakanlah kepada orang laki-laki
yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Katakanlah kepada wanita yang
beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya
…”(an-Nur: 30-31)
2. Pihak wanita harus mengenakan
pakaian yang sopan yang dituntunkan syara’, yang menutup seluruh tubuh selain
muka dan telapak tangan. Jangan yang tipis dan jangan dengan potongan yang
menampakkan bentuk tubuh. Allah berfirman:
“… Dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya kecuali yang biasa tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung ke dadanya …” (an-Nur: 31)
Diriwayatkan dari beberapa sahabat
bahwa perhiasan yang biasa tampak ialah muka dan tangan.
Allah berfirman mengenai sebab
diperintahkan-Nya berlaku sopan:
“… Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu …” (al-Ahzab: 59)
Dengan pakaian tersebut, dapat
dibedakan antara wanita yang baik-baik dengan wanita nakal. Terhadap wanita
yang baik-baik, tidak ada laki-laki yang suka mengganggunya, sebab pakaian dan
kesopanannya mengharuskan setiap orang yang melihatnya untuk menghormatinya.
3. Mematuhi adab-adab wanita
muslimah dalam segala hal, terutama dalam pergaulannya dengan laki-laki:
a. Dalam perkataan, harus
menghindari perkataan yang merayu dan membangkitkan rangsangan. Allah
berfirman:
“… Maka janganlah kamu tunduk dalam
berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)
b. Dalam berjalan, jangan memancing
pandangan orang. Firman Allah:
“… Dan janganlah mereka memukulkan
kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan…” (An-Nur: 31)
Hendaklah mencontoh wanita yang
diidentifikasikan oleh Allah dengan firman-Nya:
“Kemudian datanglah kepada Musa
salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan …” (al-Qashash: 25)
c. Dalam gerak, jangan berjingkrak
atau berlenggak-lenggok, seperti yang disebut dalam hadits:
“(Yaitu) wanita-wanita yang
menyimpang dari ketaatan dan menjadikan hati laki-laki cenderung kepada
kerusakan (kemaksiatan).8 HR Ahmad dan Muslim)
Jangan sampai ber-tabarruj
(menampakkan aurat) sebagaimana yang dilakukan wanita-wanita jahiliah tempo dulu
atau pun jahiliah modern
4. Menjauhkan diri dari bau-bauan
yang harum dan warna-warna perhiasan yang seharusnya dipakai di rumah, bukan di
jalan dan di dalam pertemuan-pertemuan dengan kaum laki-laki.
5. Jangan berduaan (laki-laki dengan
perempuan) tanpa disertai mahram. Banyak hadits shahih yang melarang hal ini
seraya mengatakan, ‘Karena yang ketiga adalah setan.’
Jangan berduaan sekalipun dengan
kerabat suami atau istri. Sehubungan dengan ini, terdapat hadits yang berbunyi:
“Jangan kamu masuk ke tempat
wanita.” Mereka (sahabat) bertanya, “Bagaimana dengan ipar wanita.” Beliau
menjawab, “Ipar wanita itu membahayakan.” (HR Bukhari)
Maksudnya, berduaan dengan kerabat
suami atau istri dapat menyebabkan kebinasaan, karena bisa jadi mereka duduk
berlama-lama hingga menimbulkan fitnah.
6. Pertemuan itu sebatas keperluan
yang dikehendaki untuk bekerja sama, tidak berlebih-lebihan yang dapat
mengeluarkan wanita dari naluri kewanitaannya, menimbulkan fitnah, atau
melalaikannya dari kewajiban sucinya mengurus rumah tangga dan mendidik
anak-anak.
(hdn)
Maraji’: Yusuf Qaradhawi,
Fatwa-Fatwa Kontemporer
—
Catatan kaki:
- Shahih Muslim, “Kitab Shalatul Idain,” hadits nomor
823.
- Hadits riwayat Bukhari dalam Shahih-nya, “Kitab
al-Ilm.”
- Shahih Muslim, hadits nomor 1812.
- Shahih Muslim, nomor 1811.
- Shahih Muslim, nomor 1809.
- Shahih Muslim, hadits nomor 1912.
- Lihat Shahih Muslim pada nomor-nomor setelah hadits di
atas. (penj.).
- Mumiilat dan Maailaat mengandung empat macam
pengertian. Pertama, menyimpang dari menaati Allah dan tidak mau memenuhi
kewajiban-kewajibannya seperti menjaga kehormatan dan sebagainya, dan
mengajari wanita lain supaya berbuat seperti itu. Kedua, berjalan dengan
sombong dan melenggak- lenggokkan pundaknya (tubuhnya). Ketiga, maailaat,
menyisir rambutnya sedemikian rupa dengan gaya pelacur. Mumiilaat:
menyisir wanita lain seperti sisirannya. Keempat, cenderung kepada
laki-laki dan berusaha menariknya dengan menampakkan perhiasannya dan
sebagainya (Syarah Muslim, 17: 191 penj.).
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/07/21467/hukum-pergaulan-laki-laki-dengan-perempuan/#ixzz237WVX5jH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar