Mispersepsi selalu menjadi masalah dalam komunikasi. Ada
anggapan yang bias pada pesan. Pastisipan komunikasi tak merujuk pada makna
tanda yang sama. Persoaalannya memang, tanda-tanda dalam komuniksi tak selalu
berupa pesan verbal. Bahkan ketika berupa ungkapan verbal sekalipun, dimensi
konotasi dari pesan seringkali tak terelakkan.
Awalnya mungkin sepele, sekedar berlebihan menangkap stimulus
komunikasi, baik berupa ungkapan verbal maupun nonverbal. Kita sering
mengistilahkannya sebagai “GE ER”. Terlalu berlebihan memaknai sipa seseorang.
Misalnya ada orang yang memberikan senyuman kita meaknai sebagai ekspresi rasa
suka. Ada yang mengirim sms, kita sebut sebagai perhatian. Keramahan diartikan
sebagai bentuk penerimaan rasa.
Awalnya memang sepele. Tapi proses berikutnya bisa jadi
masalah serius. Awalnya mungkin sikap sepihak, tapi karena logika stimulus
respon, kemudian berlanjut dengan interaksi dua pihak. Ilustrasinya
sederhananya begini. Kita berkenalan dengan seseorang. Dalam perjalanannya,
kita menangkap kesan orang ini baik, ramah, dan hangat. Kita pun gee r, orang
ini memiliki perhatian khusus pada kita. karena perasaan ini, kita pun kemudian
memberikan perhatian khusu pula.
Ini respon kita atas stimulus yang makna sesungguhnya bisa berbeda
dari yang kita simpulkan. Respon yang sering kali terjadi pada omunikasi
diantara dua orang yang berbeda latar belakang social atau budaya. Bagi kita
yang memiliki latar belakang miskin senyuman misalnya, mungkin akan berlebihan
merespon orang yang mudah senyum.
Dalam budaya tertentu, senyum bahkan memiliki makna negative
jika diberikan oleh sorang perempuan asing. Seperti yang terungkap dalam
diskusi ISKI (ikatan sarjana komunikasi Indonesia) belum lama ini, seputar
kendala komunikasi lintas budaya antaraTKW
dengan tuannya di Arab Saudi. Seorang panelis memaparkan temuan bagaimana
keramahtamahan (ala Indonesia bisa berujung petaka bagi sang TKW).
Di Arab Saudi, hubungan pria dan wanita diatur sedemikian rua.
Jangankan memberikan senyuman, menatap pria asing saja termasuk majikan adalah
tabu. Sementara bagi para TKW, keramahan seorang pembatu pada majikan tak
sekedar wajar tapi memang sudah menjadi kewajibannya, ya keramahtamahan ala
Indonesia, seperti suara lembut dan senyum yang selalu mengembang. Disinilah
masalahnya, majikan menyimpulkan senyum itu sebagai stimulus ‘kenakalan
perempuan’ sehingga tak jarang cerita pembantu dan majikan ini berujung pada
kasus pemerkosaan.
Contoh diatas barangkali agak ekstrim, tapi kita merasakan
jebakan rasa sebagai akibat mipersepsi itu dalam kehidupan sehari-hari. Banyak
kasus perselingkuhan yang berawal dari rasa GeEr. Bayangkan ada seorang pria
dengan perasaan sensitive. Kemudian karena sesuatu hal ia bertemu dan
berkenalan dengan seorang perempuan yang kebetulan ramah. Keramahannya yang
bisa jadi memang telah menjadi karakternya sehari-hari. Namun, senyum dan sikap
baik dari perempuan ini sangat mungkin dimaknai secara berlebihan. Perasaan
sang pria pun hanyut oleh mispersepsi.
Pada akhirnya komunikasi adalah masalah kedua belah pihak.
Maka, untuk menghindari jebakan rasa karena mispersepsi. Bersikap baik pada
orang lain tak sekadar boleh tapi memang sudah menjadi kewajiban kita. kita
memang harus ramah tamah pada siapapun, tapi kita jua harus sadar batas-batas keramahan
yang layak kita ekspresikan.
Kita harus semakin peka pada orang lain yang karakternya
beragam. Tak semua orang bisa diajak becanda. Tak semua orang peka pada
tanda-tanda, ada baiknya kita selalu menimbang setiap sikap yang kita tunjukkan
pada orang lain. Singkatnya, sebisa mungkin jangan membuat orang lain menjadi
Ge Er.
Dialin pihak, kita juga harus menjadi penafsir pesan yang
cerdas dan bijak. Tak perlu berlebihan dalam menyikapi senyum, pujian, atau
perhatian orang lain. Apa lagi jika respon kita diatas timulus itu berpotensi
merusak kehormatan diri. Menjauhkan segala rasa yang berlebihan jauh lebih
baik. Cukup kita simpulkan orang tersebut dalam kelompok orang yang ramah dan
baik karena karakternya sudah begitu. Cukuplah kita enaruh hormat yang dalam atasnya, bukan
justru menariknya dalam jebakan rasa yang merusak.
Komunikasi akan terus menandai segala interaksi dalam hidup kita, seiring berjalannya waktu,
kita akan terus mendapatkan pelajaran-pelajaran baru. Melalui komunikasi kita
akan semakin mengenal karakter orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar